BUMN dan BUMD Kapan Berbenah Diri?

Ketua LBH Aura Keadilan, Ferry L Gaol SH MH

Oleh: Ferry L Gaol SH MH

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sejatinya dibentuk guna mewujudkan tujuan mulia dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dibarengi dengan pencapaian keuntungan finansial untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dalam ketentuan Pasal 331 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah, dijelaskan bahwa pendirian BUMD bertujuan untuk memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah pada umumnya.

Kemudian, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik dan memperolah laba dan/atau keuntungan.

Namun dalam pelaksanaannya sangat jauh dari harapan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar pemerintah mengevaluasi keberadaan BUMN dan BUMD yang ada di seluruh Indonesia. Dilihat dari tingkat Return On Assets (ROA) sangat kecil dan cenderung tidak pernah ada peningkatan.

Kalau dievaluasi data BUMD di seluruh Indonesia berjumlah 1.007 dengan asset Rp340.118 triliun dan mempunyai laba Rp10.372 triliun dengan tingkat ROA sekitar 3 persen.

Menurut penulis, disaat BUMN sudah berbenah, BUMD anteng-anteng saja melangkah tidak pasti. Sistem pengelolaan dan manajemen para kepala daerah yang tidak profesional, dilatarbelakangi gaya suka-suka, kemungkinan karena wawasan pengetahuan tentang ekonomi yang minim dan mungkin pengetahuan tentang neraca juga minim.

Padahal, rangsangan-rangsangan penghargaan oleh Pemerintah Pusat melalui pemberian (Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada daerah sudah sangat baik. Tapi faktanya, kebanyakan penganugrahan WTP itu adalah dihasilkan dari manipulasi kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan oknum BPK ketika audit dilakukan.

Berbagai ekspresi dipertontonkan kepala daerah atas hasil WTP yang penuh manipulasi. Salah satu contoh manipulasi penghargaan itu adalah di bidang penyertaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk BUMD yang dianggarkan setiap tahun, walaupun BUMD tersebut tidak pernah menguntungkan daerah.

Harus disadari, tujuan pembentukan BUMD adalah untuk mencari keuntungan menambah PAD dari hasil pengelolaan BUMD. Tapi, kalau kita lihat dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD), nyaris tidak pernah ‘absen’ anggaran untuk BUMD.

Badan Anggaran (Banggar) di DPRD juga sepertinya tidak pernah mengevaluasi penyertaan dana yang terus menerus dimasukkan oleh eksekutif ke dalam RAPBD. Mungkin ini dikarenakan wawasan teman-teman di DPRD minim tentang neraca maupun ekonomi.

UU 23 tahun 2014 UU tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan, Pengelolaan BUMD harus mengandung unsur tata kelola perusahaan yang baik, dengan sistem swakelola mandiri yaitu pengawasan dan pembinaan oleh pemegang kebijakan.

Namun fakta di lapangan, pengelolaan BUMD sering mismanajemen dan tidak efisiensi. Oleh karena itu, seharusnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berbenah dan berhentilah memberikan penghargaan-penghargaan dalam tata kelola keuangan daerah, karena akhirnya inilah ruang bagi oknum pemeriksa dan terperiksa untuk berbuat kecurangan-kecurangan.

Fungsi BPK adalah melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan keuangan negara. Kalau fungsinya dijalankan dengan benar, beberapa BUMD harus dibubarkan, karena hanya menghasilkan kerugian negara.

Sepertinya, BPK belum pernah mengevaluasi latarbelakang mengapa kerugian terus menerus dialami oleh BUMD. Bila dievaluasi dengan benar, semua itu akibat perbuatan para kepala daerah yang menjadikan BUMD atau pembentukan BUMD hanya untuk mengakomodir kepentingan politik untuk keuntungan pribadi.

Cobalah evaluasi para pengelola BUMD, hampir semua tidak ada yang profesional. Mulai dari direktur, pengawas dan pekerja di BUMD semua hasil rekrutan yang tidak memenuhi persyaratan untuk mengelola Perusahaan Umum Daerah (Perumda) maupun BUMD lainnya.

BPK RI sampai kapan menyimpan para auditor yang nakal? Inspektorat sebagai pengawas dan pembina BUMD sampai kapan baru mau berhenti mengikuti kemauan politik dan kebijakan kepala daerah yang salah dalam tata kelola keuangan daerah dan asset daerah?. (*)

Penulis adalah Ketua LBH Aura Keadilan