CIKARANG, MEDIASI.COM – Rentetan kasus korupsi yang menjerat pejabat di Kabupaten Bekasi dinilai mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan anggaran publik. Hal itu dikatakan Ketua Lembaga Kajian Kebijakan Daerah (LK2D) Kabupaten Bekasi, Usman Priyanto menanggapi operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, Kamis (18/12/2025).
Menurut Usman Priyanto, sedikitnya tiga perkara besar yang terjadi di Kabupaten Bekassi, yakni penyalahgunaan tunjangan perumahan DPRD yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, korupsi dana hibah NPCI, serta operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang pada 18 Desember 2025.
“Peristwa ini mengungkap rapuhnya tata kelola keuangan daerah dan lemahnya pengawasan internal serta penegakan hukumnya juga lemah,” ujar Usman Priyanto, Jumat (19/12/2025).
Ia memberi salah contoh kasus tunjangan perumahan DPRD Kabupaten Bekasi. Menurutnya, kasus ini mencuat setelah kebijakan yang diterapkan melalui peraturan kepala daerah tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Praktik tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara hingga puluhan miliar rupiah dan menyeret sejumlah pejabat ke proses hukum.
Belum tuntas kasus tersebut, publik kembali dikejutkan oleh korupsi dana hibah NPCI Kabupaten Bekasi. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembinaan atlet disabilitas, justru diduga disalahgunakan. Kasus ini dinilai mencederai nilai keadilan sosial serta komitmen pemerintah daerah terhadap kelompok rentan.
Puncak krisis terjadi pada 18 Desember 2025, ketika KPK melakukan OTT terhadap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang bersama sejumlah pejabat daerah. Penangkapan kepala daerah aktif ini menjadi sinyal kuat bahwa persoalan korupsi di Kabupaten Bekasi telah menyentuh level pengambil kebijakan tertinggi. Ditambah Keikutsertaan oknum Kejaksaan Kabupaten Bekasi, itu menandakan sistem hukum dan pengawasan di Kabupaten Bekasi sangat lemah. Hal ini, menujukan pengawasan dari sisi hukum di Kabupaten Bekasi.
Menurut Usman Priyanto, rangkaian kasus tersebut bukan sekadar pelanggaran individual, melainkan bukti kerusakan sistem tata kelola anggaran.
“Ini bukan lagi soal oknum. Jika DPRD, OPD, hingga kepala daerah terjerat kasus korupsi, maka yang gagal adalah sistem pengawasan dan akuntabilitas pemerintahan. Ada pembiaran yang berlangsung lama,” ujar Usman.
Ia menambahkan, lemahnya fungsi pengawasan legislatif serta minimnya transparansi anggaran membuka ruang besar terjadinya penyimpangan.
“APBD seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan rakyat, bukan ladang bancakan elite. Kasus-kasus ini menunjukkan APBD Bekasi rentan dimanipulasi karena tidak dikelola secara terbuka dan partisipatif,” tegasnya.
Aktivis tersebut juga mendesak audit menyeluruh terhadap seluruh program strategis serta reformasi total pada sistem perencanaan dan penganggaran.
“Penegakan hukum penting, tapi tidak cukup. Harus ada reformasi birokrasi yang nyata, termasuk pembenahan sistem pengadaan, penguatan inspektorat, dan keterbukaan data anggaran agar publik bisa ikut mengawasi,” tambahnya.
Di tengah kerugian negara yang ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah, masyarakat Kabupaten Bekasi kini menaruh harapan besar pada proses hukum yang transparan dan langkah korektif yang nyata. Tanpa pembenahan mendasar, Kabupaten Bekasi dikhawatirkan akan terus terjebak dalam lingkaran korupsi yang menggerus kepercayaan publik dan merugikan kepentingan rakyat. (*)
Baca koranmediasi.com untuk mendapatkan berita aktual, baik lokal maupun nasional. Disajikan secara tegas, lugas, dan berimbang.
