CIKARANG, MEDIASI.COM – Praktik pemberi kerja yang menekan atau memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri alih-alih melalui pemutusan hubungan kerja (PHK), dinilai sangat merugikan pekerja.
Hal itu disampaikan Sulaeman, Bendahara DPC Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Kabupaten Bekasi menanggapi adanya dua orang pekerja PT Sukanda Djaya yang disuruh mengundurkan diri alih-alih PHK dengan diberi uang sebesar Rp 12.000.000.
Tindakan perwakilan perusahaan yang beralamat di Jl Halmahera Blok EE 2 Desa Danau Indah Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, menurut Sulaeman sangat tidak tepat, karena semua ada aturan.
“Putus hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan dengan mengundurkan diri itu karena kemauan sendiri, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 disebutkan karyawan bisa mundur dari pekerjaannya memang karena kemauan sendiri, tapi ini kan bukan kemauan pekerja untuk resign,” tegasnya.
Sulaeman menambahkan putusnya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan melalui mengundurkan diri harus didasari keinginan pekerja.
“Pemutusan hubungan kerja karena hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan atau majikan, bisa terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak,” ketusnya.
Kendati demikian Sulaeman mengingatkan agar pengusaha dan pekerja mengupayakan jangan sampai terjadi PHK.
“Dalam pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (kluster ketenagakerjaan) dinyatakan bahwa pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK,” urainya.
Tindakan yang dilakukan oleh perwakilan PT Sukanda Djaya, menurut Sulaeman perlu ditelusuri oleh pihak yang membidangi ketenagakerjaan.
“Kita berharap Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi dan Pengawas Ketenagakerjaan wilayah II Karawang menelusuri kebenaran dan alasan apa menyuruh mengundurkan diri, sedangkan si pekerja masih ingin bekerja, buat menghidupi anak dan istrinya,” ungkap aktivis buruh tersebut.
Kekwatiran Sulaeman jika pihak pekerja disuruh mengundurkan diri tanpa keinginan pekerja berkelanjutan akan merugikan pekerja yang lainnya.
“Saya kwatir jika pola ini diterapkan dan bisa berjalan, tentu sangat merugikan pekerja, pada hal semua sudah diatur. Akibatnya, seorang pekerja yakni Bintoro saat disuruh mengundurkan diri shok hingga pingsan, itu sangat jelas karena si pekerja ini masih ingin bekerja,” ujarnya.
Sulaeman berharap penelusuran ini mendapat hasil dan menjadi pembelajaran juga buat buruh dalam hal menghadapi jika terjadi seperti ini.
Pentingnya penelusuran dari pemerintah melalui dinas dan pengawas ketenagakerjaan, katanya, agar diketahui adakah pelanggaran aturan dan buruh terdampak kerugian.
“Pentingnya ini ditelusuri agar kita ketahui ada nggak pelanggaran aturan, ada nggak yang dirugikan, misal buruhnya ketika ditekan mengundurkan diri, apa kerugiannya dan hal ini benar atau tepatnya kita tunggu jawaban pihak terkait,” tutupnya.
Untuk diketahui, masa kerja buruh yang disuruh mengundurkan diri sudah puluhan tahun. Jonson memiliki masa kerja 10 tahun lebih dan rekannya Bintoro dengan masa kerja 20 tahun. Namun, keduanya disuruh perwakilan perusahaan untuk mengundurkan diri, dan sudah tidak diperbolehkan masuk kerja serta tidak mendapatkan upah sejak bulan Juni 2023.
Untuk mendapatkan kebenaran informasi ini media ini hingga berita diturukan belum mendapatkan jawaban dari pihak perusahaan. (pir)
Baca koranmediasi.com untuk mendapatkan berita aktual, baik lokal maupun nasional. Disajikan secara tegas, lugas, dan berimbang.