DPRD Kabupaten Bekasi Siap Dampingi Korban PHK Sepihak PT Sukanda Djaya

Jonson Marbun Pekerja di PT Sukanda Djaya yang disuruh mengundurkan diri dengan uang sebesar Rp 12.000.000

CIKARANG, MEDIASI.COM – Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih membayangi industri di Kabupaten Bekasi. Hal itu dialami dua orang pekerja yang sudah melewati masa kerja puluhan tahun di PT Sukanda Djaya yang terletak di Kawasan Industri MM 2100 Jl Halmahera Blok EE 2 Danau Indah, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi.

Jonson Marbun dan Bintono Wahyu Mugroho merupakan korban PHK sepihak oleh PT Sukanda DJaya tersebut, hingga kini masih terus mencari keadilan dalam perselisihan yang sedang dialaminya.

“Sebelumnya saya dikenai surat peringatan pertama oleh pihak perusahaan sejak bulan Agustus 2022. Selanjutnya surat peringatan kedua pada bulan Oktober 2022 dan surat peringatan ke tiga pada bulan Desember 2022,” kata Jonson kepada koranmediasi.com.

Jonson menjelaskan, sanksi surat peringatan yang diberikan perusahaan mulai dari anggapan keterlambatan masuk kerja, terlambat absen sidik jari dan pengisian bahan bakar dipagi hari.

“Surat peringatan yang dari perusahaan karena akumulasi jam keterlambatan masuk, sidik jari dan pelarangan mengisi bahan bakar pada pagi hari yang sebelumnya tidak dibatasi waktu pengisiannya,” ujar pekerja yang akan menghadapi masa pensiun itu.
Padahal menurut Jonson, pengisian bahan bakar dilakukan pada pagi hari karena kerap pulang malam dan menghindari macet yang berkepanjangan.

“Kami para supir dilarang mengisi bahan bakar di pagi hari, dimana sebelumnya waktu pengisian bebas, namun alasan saya mengisi bahan bakar pagi hari karena pulang kerja sudah malam, belum lagi cuaca kurang baik ketika hujan turun terkadang kita antri dua sampai tiga jam saat pengisian bahan bakar,” terangnya.

Tidak sampai disitu Jonson menambahkan bahwa pada bulan Mei 2023 dari pantauan GPS kendaraan yang dikemudikan ngendon di depan PT Sukanda Djaya saat menunggu sales melewati batas waktu.

“Saya dipantau dari GPS ngendon di depan perusahaan. Pada saat itu saya menunggu sales untuk berangkat ke area kerja. Namun saya tidak sadar sudah melebihi waktu berhenti yang seharusnya lima belas menit menjadi dua puluh tiga menit. Alasan itulah saya pada tanggal 31 Mei 2023 dipanggil atasan,” ujar Jonson yang bekerja sebagai driver di perusahaan tersebut.

Dalam pertemuan Jonson dengan HRD perusahaan di ruang meeting, katanya, dirinya pun disuruh untuk mengundurkan diri.

“HRD memanggil saya ke ruang meeting bertemu dengan Bu Lestari, Pak Arif Lantik, Bu Nani, beserta dua orang staf lainnya dan melalui Bu Nani selaku HRD menyuruh saya untuk mengundurkan diri dengan diberi uang sebesar dua belas juta rupiah. Saya tidak mau menerima karena saya masih mau bekerja, mengingat saya dua tahun lagi akan pensiun dan saya masih butuh pekerjaan untuk menghidupi anak-anak dan keluarga saya,” ucapnya.

Meskipun Jonson tidak menuruti perintah perwakilan perusahaan untuk mengundurkan diri dengan diimingi uang puluhan juta, tapi terhitung sejak tanggal 23 Juni 2023 sudah tidak diperbolehkan masuk pekarangan perusahaan serta sudah tidak menerima upah.

“Absensi saya sudah diblokir, dan sudah tidak diperbolehkan masuk pekarangan perusahaan oleh security atas perintah HRD, dan sudah tidak menerima upah lagi,” kesalnya.

Kenyataan pahit yang dialami Jonson menempanya untuk tetap berjuang untuk dapat bekerja kembali. Mediasi yang sudah dilakukan di Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi belum mendapat titik terang.

“Berbagai usaha sudah kami lakukan bersama-sama dengan Pak Wahyu teman saya yang juga di PHK. Mediasi di Dinas Ketenagaerjaan berbulan-bulan dan anjuran sudah diterbitkan sejak Desember 2023 lalu,” terangnya.

Kendati demikian, Jonson dan Wahyu berharap Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, dan wakil rakyat turut serta memberikan perhatian dan bantuan dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi, karena PHK itu tidak tepat dilakukan padanya.

“Dengan mata berkaca-kaca Jonson dan Wahyu meminta bantuan. Jujur dan sangat jujur kami berdua tidak sanggup menghadapi persoalan ini. Kami merasa tidak tepat diperlakukan dengan cara begini. Kami sangat berharap kehadiran Pemerintah Daerah, Pak Pj Bupati. Para wakil rakyat tolong bantu kami untuk menyelesaikan persoalan ini, kami minta bekerja kembali, kondisi ini sangat tidak baik buat kami,” tutupnya.

Hal yang sama juga disampaikan Bintoro yang mendapatkan perlakuan PHK sepihak. Bintoro menjelaskan bahwa sebelumnya pada 21 Juni 2022 Wahyu diberi surat peringatan pertama, dan lima bulan berikutnya dapat surat peringatan kedua sampai ada surat peringatan ketiga.

“Saya dapat peringatan pertama pada 21 juni 2022 lalu surat peringatan kedua pada 21 Oktober 2022 dan surat peringatan ke tiga pada 22 Desember 2022,” urainya.

Bintoro sangat menyesalkan dengan tiga surat peringatan yang diberikan oleh perusahaan dan berujung PHK dan sangat merugikannya.

“Peringatan pertama itu kami dapatkan karena lupa menyoloki mobil frozen, lalu peringatan kedua perusahaan beralasan bahwa saya datang terlambat, dan peringatan ketiga karena saya mengisi bahan bakar di pagi hari,” ucapnya.

Tidak sampai disitu diwaktu yang sama pada tanggal 31 Mei 2023 Bintoro kembali dipanggil oleh perwakilan perusahaan karena ngendon di depan perusahaan.

“Saya dipanggil kembali oleh perusahaan karena saya dianggap ngendon di depan perusahaan, pada hal saya disitu memperbaiki ban serep mobil yang hampir lepas dari tempatnya, bahkan saya juga dibantu sama sales,” ujarnya.

Tragisnya dalam pertemuan itu dengan perwakilan perusahaan, Bintoro sangat kaget dan tidak terima di PHK dan sangat shok.
“Dalam pertemuan itu saat saya disuruh HRD untuk mengundurkan diri, dan saya tidak mau, akibatnya saya sangat shok dan pingsan hingga saya dibawa ke rumah sakit EMC Cibitung oleh Pak Fredy yang bertugas di bagian klinik,” kesalnya.

Akibat tidak bisa menerima kenyataan saat disuruh mengundurkan diri tersebut harus menjalani perawatan.

Bintoro Wahyu
Pekerja di PT Sukanda Djaya yang disuruh mengundurkan diri.

“Saya tidak mampu menerima saat disuruh mengundurkan diri. Akibatnya, saya sakit dan dirawat di rumah sakit sejak 31 Mei sampai dengan 4 Juni 2023. Tapi istri saya selalu melaporkan perkembangan penyakit saya ke Pak Komarudin selaku atasan,” ungkapnya.

Setelah kondisi Bintoro membaik, pada tanggal 22 Juni 2023, dia kembali beraktivitas dan bekerja kembali namun sudah tidak diperkenankan masuk ke area perusahaan.

“Pada tanggal 22 Juni 2023 setelah kondisi saya membaik, saya masuk kantor seperti biasa. Namun saya dilarang masuk oleh security atas perintah HRD,” ujarnya.

Tindakan perusahaan tersebut menurut Bintoro sangat disayangkan. Alasannya, masa kerjanya sudah hampir dua puluh tahun. Dia sudah mengabdi dan berusaha bekerja sebaik-baiknya. Dia berharap semua bisa dibicarakan baik-baik dan ingin bekerja kembali.

Menganggap butuh hadirnya dukungan dan bantuan advokasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dan DPRD, Jonson dan Bintoro meminta pendampingan dari DPRD Kabupaten Bekasi, agar perselisihan dengan PT Sukanda Djaya bisa teratasi.

Menanggapi permintahaan kedua orang korban PHK tersebut, Rusdi selaku Sekretaris Komisi IV DPRD Kabupaten Bekasi merespon dengan baik dan siap menerima aduan.

“Kami siap membantu kawan-kawan yang mengadu, silahkan berkirim surat ke DPRD Kabupaten Bekasi Komisi IV,” tandasnya.

Demi menjaga keberimbangan informasi yang dihimpun dari pekerja tersebut, media ini pun mendatangi PT Sukanda Djaya pada Kamis, (29/2/2024). Namun security yang bertugas Wulan miminta untuk menjadwalkan terlebih dahulu.

“Untuk keperluan dengan HRD, sebelumnya harus dijadwalkan dulu,” kata Wulan singkat.

Hingga berita ini diturunkan, Wartawan Koran Mediasi belum berhasil mendapatkan keterangan kebenaran adanya arahan kepada pekerja untuk mengundurkan diri dengan diberi uang sebesar Rp12 juta. (pir)

Penulis: Pirlen Sirait