Bedah Hukum Pengembalian Uang Suap

Ferry L Gaol SH MH, Ketua LBH Aura Keadilan

Oleh: Ferry L Gaol SH MH

OPERASI Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 5 Januari 2022, membongkar adanya indikasi korupsi berjamaah di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi.

Hal ini terindikasi dengan terseretnya beberapa orang dalam operasi dan dijadikan tersangka. Setelah dilakukan pengembangan pemeriksaan saksi, Ketua DPRD Kota Bekasi, Choiruman J Putro pun mengaku menerima uang Rp200 juta dari tersangka RE Wali Kota Bekasi non aktif.

Anehnya, uang yang diterima melalui suruhan tersangka RE, langsung dikembalikan setelah adanya OTT. Yang menjadi pertanyaan berbagai pihak, apakah pengembalian uang itu dapat menghapus tindak pidana suap yang sudah terjadi?.

Untuk diketahui, tindak pidana suap ini diatur dalam, UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU 3/1980). Pasal 3 UU 3/1980 menyebutkan:

 
“Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000”

 

Pasal 3 UU 3/1980 ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “sesuatu atau janji” tidak selalu berupa uang atau barang. Dengan demikian, pasal tersebut menjelaskan bahwa “sesuatu” adalah termasuk juga uang. Selain itu, Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juga mengatur:

 
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 250.000.000,00 pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.

 
Dengan demikian, tindakan menerima uang suap tersebut walaupun kemudian dikembalikan setelah ada isu mengenai suap tersebut, tetap dapat dikenakan tindak pidana dikarenakan telah menerima uang tersebut.

Sepertinya, penjelasan di atas sangat memungkin dikenakan terhadap Ketua DPRD Kota Bekasi yang sudah mengembalikan uang suap dari tersangka RE. Apalagi, pengembalian uang itu diakui di hadapan penyidik KPK.

Choiruman J Putro saat ini statusnya sebagai saksi tersangka RE dalam kapasitasnya selaku Pemangku Jabatan Ketua DPRD Kota Bekasi. Pengakuan
pengembalian uang suap ini lumayan lugu, karena mengatakan tidak mengerti mengapa Walikota Bekasi non aktif memberikan uang sebesar Rp200 juta.

Menurut penulis, seorang pemangku jabatan publik seharusnya memahami UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap pasal 3 garis besarnya menyebutkan barang siapa menerima sesuatu atau janji sesuatu. Sedang penerima mengetahui pemberian dimaksud untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam tugasnya yang bertentangan dengan kewajibannya atau kewenangannya dihukum 3 Tahun.

Dengan demikian, pengembalian uang yang dilakukan Ketua DPRD Kita Bekasi mungkin keterkaitan dengan Pasal 12c UU Tipikor, dimana saksi berharap bila uang suap dikembalikan maka pidana akan hilang.
Yang dimaksudkan oleh pasal 12c dimaksud adalah bila hadiah yang dimaksudkan dalam list objek grativikasi dikembalikan dalam tempo 30 hari sejak diberikan dan tidak setelah terjadi penangkapan atas tersangka.

Bila dikaji, OTT dilakukan KPK pada tanggal 5 Januari 2022, sementara saksi selaku pemangku jabatan Ketua DPRD Kota Bekasi penerima suap, baru mengembalikan uang tersebut pada tanggal 25 Januari 2022. Sehingga tidak masuk akal sehat kalau penerima tidak memahami pemberian uang dari tersangka OTT.

Dengan begitu, menurut penulis, Ketua DPRD sudah cukup alasan untuk dijadikan tersangka dari hasil pengembangan penyidikan tersebut. Apalagi, jika dikaitkan dengan persetujuan anggaran untuk pembiayaan pembebasan beberapa folder air di beberapa kecamatan di Kota Bekasi.

Ada juga beberapa masyarakat yang bertempat tinggal di Perumahan Dosen IKIP Kelurahan Jatikramat, Kecamatan Jatiasih, modusnya fasos milik perumahan tetapi ujuk-ujuk dibebaskan oleh Pemkot Bekasi kepada warga yang tidak jelas sebesar Rp34 miliar.

Modus – modus seperti inilah yang dilakukan Pemkot Bekasi untuk meraup uang. Hanya bermodalkan putusan incracht dimana kita tidak paham penggugat siapa tergugat siapa. Jangan – jangan tanah negara yang disengketakan oleh pejabat Pemkot Bekasi.

Bila ditelusuri tanah yang diperuntukan untuk pembangunan Tol Becakayu dan Kota Bintang, di dalamnya ada tanah Binamarga maupun tanah milik rakyat. Modus biasanya tanah negara disertifikatkan, atau disengketakan setelah ada sertifikat dan Putusan Pengadilan lalu lahan tersebut dibebaskan Pemkot Bekasi, makanya KPK harus membersihkan sampai tuntas, bila dipandang perlu KPK merekomendir semua pejabat dilakukan Test Wawasan Kebangsaan.

Pengembangan penyidikan untuk menjerat para pelaku korupsi dalam UU Pencucian Uang Penyidik harus memanggil para Pejabat yang sudah purnabakti seperti Sekda pada waktu itu, karena waktu walikota menjabat pada periode pertama tidak terlepas dengan kegiatannya pada jabatan di periode kedua. Bahkan paket pasangannya merupakan mantan Kepala Dinas yang memahami pembangunan seluruh folder di Kota Bekasi. Oleh karena itu harus diusut semua, karena pelakunya bukan walikota saja. (*)

Penulis adalah Ketua LBH Aura Keadilan

Exit mobile version