Optimalisasi UU 22/2009 dan Kebijakan “Ganjil-Genap”

Ferry L Gaol SH MH foto bersama Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan

Oleh: Ferry L Gaol SH MH

KEBIJAKAN para kepala daerah dalam menetapkan peraturan ganjil-genap bagi kendaraan yang melintas di jalan raya, berdampak buruk terhadap perkembangan industri otomotif, bahkan dapat membuka ruang pemalsuan plat nomor polisi kendaraan.

Kepala daerah yang tidak mempunyai kreativitas dan inovasi, apalagi tidak sepenuhnya memahami Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sering membuat kebijakan atau Peraturan Daerah (Perda) yang terkesan mengalahkan undang-undang.

Seperti pemberlakuan sistem ganjil genap di Jakarta misalnya, tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 155 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil Genap.

Peraturan tersebut, katanya dilandasi dari hasil evaluasi, sehingga diterapkan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil genap yang berdampak positif pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pengguna ruang jalan.

Selain itu, yang menjadi rujukan atas penerapan aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.

Tapi, harus juga disadari bahwa akibat penerapan Perda “Ganjil-Genap”, cepat atau lambat, perusahaan industri otomotif di Indonesia akan sampai pada titik jenuhnya.

Dengan adanya kebijakan Perda Ganjil – Genap, Pemerintah Daerah melalui Dinas Perhubungan harusnya memahami apa yang disebutkan rekayasa Lalu lintas, karena dinas perhubungan mempunyai jabatan untuk mengelola bidang ini.

Bidang rekayasa lalu lintas merupakan bidang seksi, karena bidang ini bagaikan laboratoriumnya Pemerintah daerah untuk melakukan uji coba, merekayasa lalulintas agar dapat mengurai kemacetan lalu lintas.

Dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 tahun 2009 pasal 14 dikatakan, membangun rencana induk lalu lintas nasional dan rencana induk angkutan jalan nasional harus terintegrasi dengan tata ruang.

Namun, sinergitas antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan belum terlihat harmonis. Apalagi dengan pihak kepolisian dalam menetapkan skala nasional pembangunan rencana induk jaringan lalu lintas nasional.

Harusnya diperhatikan dulu rencana tata ruang Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Apakah yang disebut membangun jaringan induk lalu lintas yang diamanatkan oleh UU 22/2009 ini sudah dipedomani dan dilakukan oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana disebut UU tersebut?

Menurut hemat penulis, belum atau belum optimal. Sebab, bila Pemerintah sungguh-sungguh memperhatikan UU Nomor 22/2009, tidak perlu lagi ada kebijakan ganjil – genap dalam berlalulintas di beberapa daerah.

Jadi, kebijakan dalam penerapan ganjil dan genap ini merupakan pelanggaran hukum administrasi negara, HAM dan kejahatan perekonomian.

Sudah jelas-jelas ada undang-undang yang mengatur lalu lintas dan angkutan jalan sebagai landasan hukum berlalulintas. Dan, tidak ada di dalam undang-undang itu disebutkan tentang ganjil genap, mengapa ada kebijakan itu?

Berdasarkan peraturan yang mengalahkan undang-undang tersebut, rakyat pun dilarang menggunakan kendaraan roda empatnya bila nomor polisinya tidak tepat dengan nomor yang sudah ditentukan saat itu. Ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.

Yang terakhir, perusahaan industri otomotif adalah subjek atau objek pajak yang cukup baik untuk mengisi pundi-pundi pendapatan Negara. Tapi, dengan adanya kebijakan ganjil genap maka sektor otomotif sangat berpengaruh.

Kepala Daerah yang menetapkan kebijakan ganjil genap mungkin tidak memahami sektor-sektor pendapatan nasional dan daerah. Sebaiknya Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota mempelajari UU Nomor 22 tahun 2009 agar memahami bagaimana mengurai kemacetan.

Bukan dengan kebijakan ganjil-genap, karena tidak ada diatur di dalam undang-undang. Cepatlah move on para kepala daerah, para menteri agar senantiasa bekerja dengan berpedomam kepada undang-undang, peraturan pemerintah, maupun aturan yang sudah disepakati.

The government in running the government should not be too much with its own rules if the law has regulated. (*)

Penulis adalah Ketua LBH Aura Keadilan