BEKASI, KOMED – Pengacara Raja Tahan Panjaitan pertanyakan sikap majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi yang menjadikan “Lembaga Adat Dalihan Natolu” sebagai dalil dalam mengadili perkara perceraian Nomor:564/Pdt.G/2021/PN.Bks.
Pertanyaan itu disampaikan pengacara Raja Tahan Panjaitan selaku kuasa hukum penggugat JS kepada wartawan, usai menghadiri pembacaan putusan di PN Kota Bekasi, Kamis (4/11/2021).
Menurut Raja Tahan Panjaitan, putusan majelis hakim PN Kota Bekasi yang diketuai Ranto Indra Karta, menolak gugatan perkara perceraian dengan dalil tersebut, sangat keliru dan tidak masuk akal.
Dia mengatakan, pertimbangan majelis hakim yang menyebut gugatan penggugat prematur karena diajukan sebelum melalui “Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu”, sangat bertentangan dengan UU Nomor.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Raja Tahan Panjaitan selaku kuasa hukum penggugat mengaku sangat kecewa, karena majelis hakim menjadikan Lembaga Adat Dalihan Natolu sebagai rujukan untuk mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Negeri.
Dia menjelaskan, pertimbangan majelis hakim yang menyebut terbitnya perkara perceraian ke Pengadilan karena tidak terpenuhinya tujuan perkawinan sebagaimana pasal 30 UU No. 1 tahun 74 tentang perkawinan, sudah sangat tepat.
Namun, ketika majelis hakim mengatakan gugatan prematur karena belum melalui Lembaga Adat Dalihan Natolu, dia pun kaget. Alasannya, belum pernah mendengar ada Lembaga Adat Batak yang menjadi rujukan dalam perkara perceraian di pengadilan.
“Menurut majelis hakim, gugatan prematur karena diajukan sebelum melalui lembaga adat, apa dasar hukumnya? Mestinya dalam pertimbangan itu dijelaskan. Apakah UU atau Surat Edaran (SE) atau PERMA, atau Peraturan Ketua PN. Kalau UU atau SE atau PERMA, dan atau Peraturan Ketua PN, nomor berapa, tahun berapa, ayat berapa? Mestinya dituangkan dalam putusan supaya putusan itu tidak menyesatkan,” ujar Raja Tahan.
Raja Tahan Panjaitan mengatakan, sepanjang hidupnya belum pernah mendengar ada Lembaga Adat Batak. Tapi, Dalihan Natolu dikenal bagi orang Batak untuk memposisikan hak dan kewajiban masing-masing para undangan dalam acara adat.
“Tetapi Dalihan Natolu bukan merupakan Lembaga Adat Batak. Dalam bahasa Batak Dalihan Natolu didefinisikan Tunggu Berkaki Tiga sebagai simbol penerapan sosial yang dilestarikan turun temurun menjadi budaya atau adat,” tandasnya.
Oleh karena itu, Raja Tahan mengatakan pertimbangan majelis hakim sangat keliru dan mengada-ngada. Pasalnya, Lembaga Adat Batak yang dimaksud majelis hakim sampai saat ini tidak jelas dimana dan sifatnya seperti apa.
“Putusan majelis hakim seolah-olah melegalisasi Lembaga Adat Batak lebih tinggi dari UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,” katanya.
Dalam perkara gugatan, lanjut Raja, mediasi selalu didahulukan. Ketika mediasi gagal, baru kemudian dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara. Artinya, dalam perkara ini, katanya, ketika mediasi gagal, dapat disimpulkan bahwa tujuan pernikahan itu sudah tidak dapat dicapai, namun demikian perlu dilanjutkan pemeriksaan perkara pokok sebagai mana ketentuan UU.
“Sejak kapan hukum nasional atau UU tunduk terhadap hukum adat. Apakah ini penemuan hukum baru, atau justru kemunduran penerapan hukum, atau ketidakmampuan majelis hakim dalam menerapkan UU,” kecam Raja Tahan.
Terungkap dipersidangan, lanjut Raja Tahan, pernikahan pengguat JS dengan tergugat ET belum melalui prosesi adat. Peristiwa seperti ini dapat ditemukan pada suku Batak, pemberkatan secara gereja didahulukan, kemudian dicatatkan secara administrasi Negara.
“Lalu mengapa majelis hakim membawa-bawa lembaga adat. Oleh sebab itu, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan gugatan prematur karena tidak melalui lembaga adat, sangatlah keliru dan merupakan penistaan terhadap UU,” ujar Raja Tahan.
“Bagaimana mungkin diajukan melalui lembaga adat Batak Dalihan Natolu, sementara perkawinan penggugat JS dengan tergugat ET belum melalui prosesi adat. Yang saya tau, budaya/adat Batak menganut prinsip, seseorang yang telah menikah tetapi belum melaksanakan acara adat/membayar adat, dia tidak dapat menuntut hak adat. Atau sebaliknya, tidak diwajibkan mengikuti acara adat. Oleh sebab itu, pertimbangan majelis sangatlah keliru,” lanjut Raja Tahan Panjaitan.
Menurutnya, majelis hakim juga menyebutkan dalam pertimbangannya bahwa tergugat sudah minta maaf di persidangan, dan anak hasil pernikahan berinisial EJ. S, (18 thn) keberatan atas perceraian karena khawatir tidak akan mendapat perhatian dari kedua orangtuanya, hal ini juga sangat keliru.
“Pertanyaan saya, dimana lembaga adat yang dimaksud majelis hakim. Apa dasar hukumnya gugatan perceraian harus melalui lembaga adat. Jadi, putusan ini dapat dikatakan menyesatkan bagi para pencari keadilan, khususnya dalam gugatan perceraian,” tutup Raja. (*/gar)
Baca koranmediasi.com untuk mendapatkan berita aktual, baik lokal maupun nasional. Disajikan secara tegas, lugas, dan berimbang.