Restorative Justice Sangat Tepat Dalam Sistem Penegakan Hukum Indonesia

Ferry L Gaol SH MH, Ketua LBH Aura Keadilan

Oleh: Ferry L Gaol SH MH

Belakangan ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sering menyebut soal penerapan restorative justice atau mengutamakan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara oleh anggota Polri.

Penerapan restorative justice ini, utamanya ditekankan dalam upaya penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.

Bahkan, pada 19 Februari 2021 lalu, Kapolri telah menerbitkan surat edaran yang salah satu isinya meminta penyidik agar memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

Selain itu, secara khusus Kapolri juga berpesan kepada Kabareskrim Komjen Agus Andrianto untuk benar-benar mengawal penegakan hukum yang berkeadilan. Dia tidak ingin masyarakat terus-menerus merasa bahwa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Terobosan yang dilakukan Kapolri memang sangat luar biasa. Menurut penulis, saat ini Polri benar-benar menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan rasa keadilan kepada seluruh masyarakat dengan mengutamakan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

Sebagai salah satu insan penegak hukum, penulis mengakui bahwa konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum.

Tapi dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit, bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.

 
Selama ini, tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah diatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana. Namun sayangnya, sistem formil tersebut dalam praktiknya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum.

Jadi menurut penulis, restorative justice merupakan sistem peradilan yang tepat dan pas untuk negeri ini. Pasalnya, dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana peninggalan kerajaan Belanda, diwarnai politik kepentingan penjajah saat itu.

Banyak perbuatan-perbuatan yang mestinya tidak perlu dihukum, tapi harus dihukum. Seharusnya hanya bisa diselesaikan dengan hukum adat, tapi dipaksakan dengan menggunakan kitab Undang-undang hukum pidana.

Misalnya, orangtua dilaporkan anak kandung hanya karena diduga orangtuanya melakukan perbuatan pidana. Hal ini suatu yang tidak pantas dilaporkan anaknya ke pihak kepolisian. Termasuk kasus pencurian buah milik orang lain, tidak seharusnya dilaporkan ke pihak berwajib.

Contoh-contoh seperti ini, menurut penulis pihak kepolisian harus menyeleksi, jangan asal menerima laporan. Jadi, program restorasi justice yang diterapkan Kapolri cukup baik dan bisa menyadarkan para pelaku kejahatan.

Peran Polisi sebagai pembina masyarakat yang ditempatkan di kelurahan, cukup strategis dalam menyeleksi kasus-kasus kecil yang tidak perlu masuk ke pengadilan. Begitu juga dengan peranan Satpol PP, harus mulai ikut menerapkan restorative justice dalam menangani penertiban pedagang kaki lima, maupun gangguan ketertiban umum di masyarakat.

Menurut penulis, unsur pembinaanlah yang perlu dikedepankan pada saat-saat seperti sekarang. Namun pihak penegak hukum tidak boleh toleransi terhadsp kasus-kasus serius yang dapat menghancurkan negara, seperti korupsi, narkoba dan terorisme.

Ketiga contoh kasus ini, harus benar- benar menerapkan pasal yang tepat agar dapat menjadikan efek jera bagi pelakunya. Tapi yang pasti, tolak ukur keberhasilan sebuah sistem pemidanaan bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun narapidana yang menghuni lembaga pemasyarakatan. Merdeka! (*)

Penulis adalah Ketua LBH Aura Keadilan