Refleksi Perjalanan Kota Bekasi: Membangun atau Terjebak Korupsi?

Oleh: TH. Gibson Sirait, SH

Setelah saya mengikuti dan mencermati perjalanan Kota Bekasi dari waktu ke waktu, dari era ke era, terutama sejak awal terbentuknya kota ini (Bekasi, 10 Maret 1997), muncul satu keprihatinan besar yang terus berulang. Dalam perjalanan pemerintahan Kota Bekasi, hampir di setiap periode kepemimpinan wali kota selalu muncul kasus korupsi, bahkan tak sedikit yang berujung pada jeruji besi.

Ironisnya, kondisi ini seolah menjadi pola yang tak pernah benar-benar terputus. Hingga pada era Pemerintahan Kota Bekasi saat ini dipimpin oleh Tri Adhianto, persoalan serupa kembali mencuat. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan adanya dugaan kerugian negara sebesar Rp 4,7 miliar dalam pengadaan peralatan olahraga.

Kasus ini telah menetapkan tersangka, yaitu mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga, PPK proyek, serta pihak pemborong dari PT Cahaya. Mereka kini telah menjalani proses hukum dan sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung.

Namun demikian, kasus ini masih menimbulkan tanda tanya di sebagian masyarakat. Apakah mungkin praktik permainan atau korupsi sebesar ini hanya merupakan inisiatif satu dinas saja? “Tidak mungkin,” ujar seorang pengamat yang enggan disebutkan namanya.

Menurutnya, begitulah potret penegakan hukum di Indonesia yang kerap menyisakan ruang pertanyaan dan ketidakpuasan publik.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa dari periode ke periode, belum terlihat perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan Kota Bekasi. Seakan-akan telah terbentuk sebuah budaya yang mengakar: membangun sambil korupsi.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya mengajak seluruh masyarakat Kota Bekasi untuk mulai sadar dan lebih bijak dalam menentukan pilihan politik. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang memiliki integritas, jujur, berpihak kepada rakyat, dan benar-benar memiliki hati untuk membangun Kota Bekasi. Pemimpin yang serius berupaya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga, bukan sekadar mengejar kekuasaan.

Jangan lagi mudah tergoda oleh uang Rp50 ribu, Rp100 ribu, atau bingkisan sembako menjelang pemilihan. Semua itu justru akan menjadi bumerang bagi kita sendiri ketika calon tersebut terpilih dan mengkhianati amanah rakyat. Pilihan yang keliru hari ini akan kita tanggung akibatnya selama lima tahun ke depan.

Menjelang Pilkada 2029, saya berharap masyarakat Kota Bekasi dapat memilih calon wali kota yang memiliki empati, kepedulian, dan komitmen nyata terhadap kepentingan masyarakat luas.

Tak lupa, saya juga menyampaikan pesan kepada Wali Kota beserta seluruh jajarannya: bertobatlah, sadarlah, dan jalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Bangunlah Kota Bekasi dengan kejujuran dan tanggung jawab. Tinggalkan kebohongan, ketamakan, dan kecerobohan yang hanya akan merusak masa depan kota ini.

Demikian ungkapan hati dan pemikiran saya. Apabila terdapat kekeliruan, dengan hati yang terbuka saya mohon maaf sebesar-besarnya. (***)

Penulis adalah Angkatan Tahun 66 – 98 Reformasi yang saat ini masih terus berjuang.