Oleh: TGH. Gibson Sirait, SH
Kepemimpinan Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, kini tengah menjadi sorotan publik. Sejumlah kebijakan dan keputusan politik yang diambilnya menimbulkan berbagai dugaan adanya intrik kekuasaan, praktik nepotisme, dan potensi penyimpangan anggaran.
Beberapa langkah strategis yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi belakangan ini justru memunculkan pertanyaan besar. Apakah kepemimpinan di Kota Bekasi benar-benar berpihak pada rakyat, atau justru terjebak dalam kepentingan kelompok tertentu?
Pertama, mutasi jabatan dan aroma nepotisme. Isu pertama yang mencuat adalah mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi yang dinilai sarat kepentingan. Sejumlah sumber internal menilai, rotasi pejabat bukan didasarkan pada profesionalitas dan kompetensi, melainkan pada kedekatan personal dan koneksi politik.
Kasus paling mencolok disebut-sebut adalah pengangkatan saudara kandung Wali Kota, seorang dokter hewan yang menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah penunjukan tersebut berdasarkan kinerja dan kompetensi yang relevan, atau karena hubungan darah dan kepentingan keluarga? Jika benar demikian, publik berhak curiga bahwa praktik nepotisme telah menjadi pola yang mengakar dalam pemerintahan kota ini.
Kedua, dugaan jual beli jabatan.
Mutasi dan promosi jabatan yang tidak transparan sering kali membuka celah untuk praktik jual beli jabatan. Dugaan ini kian menguat ketika muncul laporan tidak resmi mengenai adanya “tarif” tertentu untuk mendapatkan posisi strategis di pemerintahan daerah. Meski sulit dibuktikan tanpa penyelidikan mendalam, indikasi adanya motif ekonomi di balik pergeseran pejabat menjadi isu yang layak disorot lembaga antikorupsi.
Ketiga, kasus alat olahraga dan dugaan kerugian negara. Masalah berikutnya muncul dalam kasus pengadaan alat olahraga, yang berdasarkan temuan audit BPK, terdapat kerugian negara sebesar Rp4,7 miliar. Dalam perkara ini, Kepala Dinas Olahraga, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan pihak rekanan dari PT Cahaya telah ditetapkan sebagai tersangka.
Namun publik mempertanyakan, apakah mungkin proyek sebesar itu bisa berjalan tanpa sepengetahuan atau keterlibatan pimpinan tertinggi di daerah? Sebagai atasan langsung dan penanggung jawab tertinggi kebijakan, peran wali kota semestinya tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika aparat penegak hukum berhenti hanya pada level bawah, masyarakat akan menilai bahwa penegakan hukum di negeri ini masih tebang pilih.
Keempat, anggaran APBD 2026 dan proyek pembebasan lahan Cikiting Udik.
Salah satu kebijakan anggaran yang juga menuai kritik tajam adalah penyusunan APBD Kota Bekasi 2026. Dari total anggaran sebesar Rp6,7 triliun, sekitar Rp263,1 miliar dialokasikan untuk pembebasan lahan di kawasan Cikiting Udik.
Data yang beredar menyebutkan bahwa harga pembebasan untuk warga sekitar hanya Rp1,1 juta per meter, namun dalam dokumen anggaran dicantumkan Rp3 juta per meter. Jika selisih ini benar adanya, maka potensi penyimpangan mencapai ratusan miliar rupiah.
Ironisnya, ketika pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mendorong pembangunan infrastruktur yang berpihak pada rakyat dan pengentasan kemiskinan, kebijakan daerah justru terkesan mengejar proyek yang rawan dikorupsi. Padahal, di berbagai wilayah Bekasi masih banyak jalan rusak, kemacetan parah, dan persoalan kemiskinan yang membutuhkan perhatian serius.
Kelima, seruan pengawasan dan deran publik
melihat berbagai kejanggalan ini, sudah sewajarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan untuk mengawasi dan menyelidiki secara mendalam setiap kebijakan yang berpotensi melanggar hukum. Pengawasan tidak bisa diserahkan hanya pada inspektorat daerah, karena potensi konflik kepentingan sangat besar.
Selain KPK, peran jurnalis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, dan akademisi juga menjadi penting untuk mengawal transparansi dan akuntabilitas publik. Masyarakat tidak boleh diam. Kritik bukan berarti memusuhi pemerintah, melainkan bentuk kemitraan yang kritis, konstruktif, dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Penutup, Bekasi harus bersih dari korupsi.
Kota Bekasi adalah salah satu kota penyangga ibu kota dengan potensi ekonomi besar. Namun potensi itu akan sirna bila pemerintahan diwarnai praktik nepotisme, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi anggaran.
Sudah saatnya publik bersuara lantang. Pemerintah daerah harus sadar bahwa kepercayaan masyarakat adalah modal utama dalam membangun kota. Jika kepercayaan itu rusak, maka tidak ada proyek atau infrastruktur sebesar apa pun yang akan mampu menutupi luka moral di hati warga Bekasi. (***)
Penulis adalah redaktur eksekutif portal berita koranmediasi.com
Baca koranmediasi.com untuk mendapatkan berita aktual, baik lokal maupun nasional. Disajikan secara tegas, lugas, dan berimbang.
