Oleh: Putri Damayanti
PARE atau Momordica charantia hadir sebagai sayuran yang kerap kali dianggap terlalu ekstrem untuk lidah kebanyakan orang. Rasa pahitnya tidak mudah terlupakan oleh mulut. Setiap gigitannya seperti memaksa orang untuk mengerutkan dahi. Namun, di balik rasa yang keras atau pahit itu, tersembunyi khasiat yang jarang mendapat perhatian yang layak. Banyak orang menolak pare tanpa memberikan kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam.
Sayuran ini kaya akan nutrisi penting. Dalam setiap 100 gram pare segar, mengandung sekitar 17 kalori, 1 gram protein, 3,7 gram karbohidrat, dan 2,8 gram serat pangan. Kandungan vitamin C yang ada dalam pare mencapai lebih dari 80 miligram, atau sekitar 140% dari kebutuhan harian orang dewasa. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan jeruk yang hanya mengandung sekitar 53 miligram vitamin C per 100 gram. Pare juga mengandung vitamin A, kalium, magnesium, zat besi, dan folat yang bermanfaat untuk metabolisme tubuh.
Dalam publikasi Journal of Ethnopharmacology tahun 2018, ditemukan bahwa senyawa bioaktif dalam pare seperti charantin dan polipeptida-P terbukti dapat menurunkan kadar gula darah pada tikus percobaan. Penelitian lain yang diterbitkan oleh Complementary Therapies in Clinical Practice tahun 2020, yaitu menunjukkan bahwa ekstrak pare mampu menurunkan kadar HbA1c dan glukosa puasa pada pasien pradiabetes setelah dikonsumsi selama tiga bulan. Hasilnya menjanjikan, tetapi para peneliti tetap menyarankan agar pare digunakan sebagai pelengkap, bukan pengganti pengobatan medis.
Dalam pengobatan tradisional Asia, pare sudah lama dianggap sebagai tanaman obat. Di Negara India, daun dan buah pare digunakan dalam praktik Ayurveda untuk membersihkan darah dan meningkatkan fungsi hati. Kemudian di Tiongkok, pare dijadikan sebagai bahan dari terapi herbal untuk mengatasi demam, gangguan pencernaan, dan infeksi ringan. Adapun di Indonesia sendiri, masyarakat kerap merebus pare dan meminum airnya sebagai penurun kolesterol dan penambah nafsu makan, terutama bagi penderita tifus atau demam berdarah.
Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2019 mencatat bahwa penggunaan pare sebagai obat tradisional rumah tangga cukup tinggi, terutama di wilayah pedesaan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali. Di daerah-daerah tersebut, pare bukan hanya dikonsumsi sebagai makanan, tetapi juga digunakan dalam bentuk jamu dan ramuan herbal warisan leluhur.
Masyarakat tradisional memandang pare sebagai simbol ketahanan tubuh terhadap pahitnya kehidupan. Dalam budaya Jawa, rasa pahit sering dimaknai sebagai pelajaran hidup yang harus diterima. Filosofi ini tercermin dalam ungkapan umum yang mengajak orang untuk menerima “pait-getir” kehidupan sebagai bagian dari proses pendewasaan. Pare tidak hanya hadir di meja makan, tetapi juga hidup dalam nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pandangan terhadap pare tidak selalu bersifat positif. Beberapa kalangan medis menyampaikan bahwa meskipun pare mengandung senyawa yang menjanjikan, bukti ilmiah tentang efektivitasnya dalam menyembuhkan penyakit kronis masih dianggap belum cukup kuat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan bahwa pengobatan herbal seperti pare memang memiliki potensi, tetapi masih sedikit dalam uji klinis skala besar yang dapat dijadikan standar. Mengonsumsi pare dalam jumlah tinggi juga bisa menimbulkan efek samping seperti hipoglikemia, terutama pada penderita diabetes yang sudah mengonsumsi obat penurun gula darah.
Faktor rasa menjadi alasan utama banyak orang menolak pare. Tidak semua orang mampu menerima pahitnya. Sebuah survei kecil yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada tahun 2022 yang melibatkan 120 responden di Yogyakarta menunjukkan bahwa 67% responden menyukai pare setelah mengetahui manfaat kesehatannya. Sementara itu, 23% tetap menolak karena alasan rasa, dan 10% menghindarinya karena trauma masa kecil. Temuan ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap pare masih bisa berubah, terutama jika dibarengi dengan edukasi yang tepat.
Ada berbagai cara untuk mengurangi rasa pahit pare. Merendam potongan pare dalam air garam selama tiga puluh menit dapat membantu menetralisir sebagian besar rasa pahit. Beberapa orang memilih merebus pare dengan air asam jawa atau gula sebelum diolah. Cara ini terbukti cukup efektif tanpa banyak menghilangkan kandungan gizi. Di tangan para pembuat menu rumahan, pare bisa berubah menjadi sajian lezat seperti tumis pare telur, pepes pare isi daging, atau pare goreng renyah yang cocok untuk cemilan sehat.
Kesehatan menjadi perhatian utama di tengah gaya hidup yang semakin sibuk dan tidak teratur. Konsumsi makanan alami yang kaya serat dan antioksidan sangat dianjurkan untuk menangkal efek buruk makanan olahan dan polusi. Pare menjadi salah satu jawaban lokal terhadap kebutuhan gizi yang padat namun rendah kalori. Jika dibandingkan dengan makanan superfood impor seperti kale atau quinoa, pare menawarkan khasiat serupa dengan harga yang jauh lebih terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat luas.
Sebagai seseorang yang dulunya selalu menghindari pare, pengalaman pribadi akhirnya mengubah pandangan. Pare yang dulu dianggap makanan kaum lanjut usia, kini menjadi bagian dari rutinitas makan yang penuh kesadaran. Tubuh terasa lebih segar, sistem pencernaan berjalan lebih lancar, dan nafsu makan menjadi lebih terkontrol. Rasa pahit yang dulu ditolak, kini menjadi tantangan yang menyenangkan untuk dihadapi.
Perubahan pola makan tidak perlu dimulai dari hal besar. Cukup satu menu sederhana berbahan pare bisa menjadi langkah awal menuju gaya hidup yang lebih sehat. Indonesia tidak kekurangan bahan pangan lokal yang kaya gizi. Sering kali, yang kurang adalah keberanian untuk mencoba dan membuka diri terhadap rasa yang tidak biasa. Pare menjadi pengingat bahwa tidak semua hal pahit harus dijauhi. Terkadang, justru yang pahit itulah yang paling jujur memberi manfaat.
Pare bukanlah sekadar makanan pinggiran yang tersingkir karena rasanya. Pare adalah warisan, obat, dan kekayaan alam yang terbukti memiliki potensi besar bagi kesehatan. Langkah kecil untuk menerima pare kembali di piring kita, bisa menjadi awal perubahan besar dalam cara masyarakat Indonesia memandang makanan sehat. Biarkan rasa pahit itu hadir, bukan untuk disiksa, tapi untuk disyukuri.
Membiasakan diri dengan pare bisa dimulai dari langkah kecil. Misalnya, cukup dengan menambahkan sedikit pare ke dalam masakan harian seperti sayur bening atau nasi goreng. Bagi anak-anak, pare bisa dicampur dalam nugget sayuran atau dikreasikan menjadi keripik gurih. Upaya memperkenalkan pare sejak dini secara perlahan dapat membentuk kebiasaan makan yang lebih sehat dalam jangka panjang. Ketika keluarga sudah terbiasa dengan rasanya, pare bukan lagi makanan yang ditolak, melainkan dicari. Sebab bukan hanya lidah yang belajar menerima, tetapi tubuh pun memberi sinyal bahwa ia mendapatkan sesuatu yang benar-benar bermanfaat.
Di tengah situasi pangan yang semakin tergantung pada produk olahan dan instan, keberadaan pare sebagai bahan segar lokal perlu dipertahankan dan dipopulerkan. Kampanye kuliner sehat yang mengangkat bahan-bahan seperti pare bukan hanya penting secara kesehatan, tapi juga menjadi bentuk pelestarian identitas pangan nasional. Generasi muda Indonesia perlu menyadari bahwa kita memiliki sumber makanan bergizi yang tak kalah dari makanan populer di seluruh dunia. Dengan begitu, pare bisa kembali mendapatkan tempat yang layak, bukan hanya di meja makan, tapi juga dalam kesadaran kolektif masyarakat modern. (*)
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca koranmediasi.com untuk mendapatkan berita aktual, baik lokal maupun nasional. Disajikan secara tegas, lugas, dan berimbang.