Pengaruh Negatif dan Positif Media Sosial Terhadap Perilaku Anak di Bawah Umur

Mahasiswa Universitas Pelita Bangsa, Alica Apriyani Sutisna, Fitri Ramadhani, Mardiana, Nur Hikmah, Nursaadah, dan Rizki Setiadi usai menemui Sarigokma Siregar, Pemimpin Umum koranmediasi.com

MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.

Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Pada awalnya perkembangan media sosial terjadi pada tahun 1978 dari penemuan sistem papan buletin yang ditemukan oleh Ward Christensen dan Randy Suess.

Adapun saat ini media sosial seperti YouTube Instagram Facebook dan WhatsApp serta lainnya sudah menggerakkan batas minimum usia pengguna, yaitu 13 tahun.

Sedangkan media sosial itu sebaiknya memang dikenal pada usia minimal 13 tahun, namun ketika anak di bawah usia 13 tahun sudah mengenal media sosial maka harus dalam pengawasan atau orang dewasa yang mendampingi anak tersebut.

Resiko penggunaan media sosial yang paling buruk adalah sosialisasi, karena anak-anak lebih memilih dengan teman online-nya dibandingkan melakukan pertemanan secara langsung (tatap muka), sehingga sosialisasi anak tidak berkembang karena mereka fokus dengan teman onlinenya.

Adapun keuntungan dan kerugian pemakaian media sosial. Media sosial tidak selalu memberikan dampak buruk bagi anak dan remaja jika digunakan dengan benar, media sosial justru akan memberikan banyak keuntungan.

Seperti sebagai sarana komunikasi dengan teman dan keluarga, sehingga memudahkan kita untuk berkomunikasi tanpa harus bertemu secara langsung, meningkatkan kreativitas seperti mengembangkan bakat yang dimiliki masing-masing anak, serta membuka kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai organisasi dan kegiatan manusia.

Ilustrasi

Meski demikian, media sosial juga bisa memberikan dampak buruk jika tidak digunakan dengan tidak baik. Seperti resiko bertemu dengan orang asing yang membuat mereka merasa takut atau tidak nyaman, melihat tayangan yang tidak sesuai usia anak dan remaja, memungkinkan terjadinya pergaduhan di dunia maya atau yang dikenal dengan istilah cyberbullying.

Hal tersebut dapat terjadi apabila seorang remaja menyebutkan nama asli mereka tanggal lahir minat nama sekolah dan tempat tinggal. Hal ini juga membuat anak dan remaja menjadi target bagi para perusak kehidupan anak dan remaja.

Selain meningkatkan risiko cyberbullying, dampak psikologis yang dapat muncul pada anak remaja akibat penggunaan media sosial yang berlebihan, akan berdampak pada gangguan kecemasan dan depresi.

Menurut penjelasan Ade Dian Komala, M.Psi Psikologi dalam siaran live dengan radio kesehatan, Kamis (20/1/2022), orang tua harus bisa menjadi lebih perhatian dan bisa me manage waktu antara bermain sosial media/gadget dengan prioritas yang harus anak lakukan.

Tidak sedikit kita melihat anak menjadi tantrum apabila dilarang bermain gadget. Sebagai orang tua, kita diwajibkan untuk bisa mengatur waktu dan mempunyai aturan yang jelas berapa lama anak boleh bermain gadget agar anak tidak menjadi tantrum.

Meski demikian, bukan berarti orang tua melepaskan kendali dan menyerahkan semua pada anak. Berikut adalah panduan mengawasi anak agar tetap aman dalam menggunakan media sosial:

Pertama, menerapkan aturan usia penggunaan media sosial. Beberapa media sosial seperti YouTube, Twitter, Facebook, Instagram dan WhatsApp memberlakukan aturan usia minimal 13 tahun untuk membuat akun. Selain itu, temani anak saat sedang mengakses media sosial. Dengan begitu Anda bisa mengetahui apa yang dilakukan anak di media sosial.

Kedua, perhatikan aktivitas anak ketika di media sosial. Perlihatkan aktivitas yang dilakukan ketika di media sosial. Faktanya, masih banyak anak dan remaja yang segan melaporkan bully tersebut pada orang tua. Sebuah studi mengungkapkan, lebih dari setengah anak dan remaja mengalami pelecehan melalui media sosial atau aplikasi digital lainnya.

Ketiga, batasi waktu mengakses ponsel dan atur penempatan komputer. Tidak hanya waktu menonton televisi atau main game yang harus dibatasi. Namun waktu mengakses internet melalui ponsel perlu juga dibatasi. Berikan mereka aturan dalam menggunakan media sosial misal 1 sampai 2 jam setelah selesai mengerjakan tugas sekolah. Jika media diakses melalui perangkat komputer maka ditempatkan di lokasi yang mudah diamati oleh orang tua.

Keempat, pengaturan privasi dan program pengawasan khusus. Setiap media sosial memiliki fitur privasi yang dapat disesuaikan. Hal ini bertujuan untuk melindungi anak dari hal-hal negatif serta melindungi akun media sosial dari pencurian identitas. Orang tua dapat menggunakan software atau perangkat lunak yang dapat menjadi pengawasan anak dalam mengakses media sosial dengan aktivitas lainnya.

Kelima, memberikan contoh yang baik. Banyak anak dan remaja menguasai perangkat teknologi jauh lebih cepat dibandingkan orang tuanya. Meski demikian, sebaiknya tetap mencoba untuk mencari tahu dan mempelajari aktivitas yang dilakukan oleh anak.

Jika orang tua tidak asing lagi menggunakan media sosial, berikan contoh yang baik pada anak, menghindari menulis atau berbagi sesuatu yang tidak pantas, karena media sosial merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang sulit untuk dibatasi. Maka dari itu para orang tua mulailah menerapkan aturan agar anak tetap aman dalam menggunakan media sosial.

“Apabila orang tua sudah merasa kesulitan atau bingung dalam menghadapi anak/remaja nya, disarankan untuk berkonsultasi ke psikolog dan tidak menunggu setelah ada masalah/keluhan. Sangat disarankan bagi orang tua berkonsultasi untuk sekedar bertanya/konsultasi dan ingin tahu bagaimana cara mengatasi anak/remaja,” tutur Ade Dian Komala, M.Psi, Psikologi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang sudah kecanduan bermain gadget, tariklah gadget nya (dalam artian bukan sama sekali tidak boleh) tetapi diberikan pengertian, batasan dan aturan yang jelas. Sebagai gantinya beri kegiatan diluar rumah yang memungkinkan anak untuk lepas dari gadget dari hadapan mereka, seperti les berenang atau les bela diri, sehingga teralihkan untuk melakukan kegiatan yang lain.

Selain itu, berilah mereka waktu dimana orang tua bisa berkomunikasi dengan anaknya dengan memberikan motivasi yang membuat anak tersebut merasa nyaman. Dalam artian bukan menghakimi anak, bahkan menyalahkan anak ketika anak tersebut melakukan kesalahan. Tetapi berikan sedikit pembelaan dan masukkan yang baik agar anak tidak merasa terhakimi oleh orang tuanya. (*)

Penulis adalah Alica Apriyani Sutisna, Fitri Ramadhani, Mardiana, Nur Hikmah, Nursaadah, dan Rizki Setiadi. Mahasiswa Prodi PGSD Universitas Pelita Bangsa Kelompok 4 Mata Kuliah Media Sosial.