Kejagung Selesaikan 313 Perkara Melalui Mekanisme Keadilan Restoratif

Jaksa Agung, ST Burhanuddin (ist)

JAKARTA, KOMED – Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia mengklaim telah menyelesaikan 313 perkara melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) hingga Oktober 2021.

Restorative justice ini merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan, dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dengan korban.

“Sampai dengan 18 Oktober 2021 tercatat sebanyak 313 perkara berhasil diselesaikan dengan Restorative Justice,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada wartawan, Jumat (22/10/2021).

Burhanuddin juga menekankan agar penerapan mekanisme restorative justice di Kejaksaan dapat diterapkan dengan baik dan profesional.

Ia menjelaskan bahwa proses tersebut diperlukan agar keadilan korban yang terenggut dapat benar-benar dipulihkan sehingga tidak menyisakan rasa dendam.

“Saya telah perintahkan pada Bidang Pengawasan untuk turut mengawasi. Untuk itu jangan pernah saudara melakukan tindakan tidak terpuji dalam melaksanakan RJ (Restorative Justice),” jelasnya.

Dikutip dari CNN Indonesia, pendekatan mekanisme hukum tanpa dibawa ke meja hijau, dikenal sebagai restorative justice. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengedepankan pendekatan mediasi antara pelaku dengan korban.

Burhanuddin juga telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Aturan tersebut memungkinkan penuntutan kasus pidana yang ringan tak dilanjutkan, apabila memenuhi sejumlah persyaratan.

Dalam Pasal 5 aturan itu, disebutkan bahwa perkara dapat dihentikan, apabila tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.

Kemudian, nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana itu tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah.

Burhanuddin sebelumnya mengakui bahwa upaya penegakan hukum saat ini masih mengutamakan aspek kepastian hukum dan legalitas formal dibandingkan dengan keadilan yang substansial bagi masyarakat.

Sehingga, kata dia, tak kaget apabila banyak masyarakat yang memandang bahwa penegakan hukum itu seperti pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. (gar)